Senin, 02 Agustus 2010

PARADIGMA BARU LDII


LDII  telah basi dengan paradigma baru
Dengan paradigma “baru”, LDII berusaha mengklarifikasi dirinya bukan sebagai aliran sesat. Benarkah? Amin Jamaludin bilang hati-hati.
Berbagai upaya pemulihan citra sesat dan eksklusif terus dilakukan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Setelah melakukan klarifikasi ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) awal 2007 lalu, LDII menggandeng MUI DKI Jakarta menggelar acara pembekalan kader dai dan daiyah LDII di Pondok Pesantren Minhajurrasyidin, Lubang Buaya, Jakarta, tanggal 16-21 Januari lalu.
Ketua MUI DKI, H Muhammad Zainudin mengatakan dirinya menerima kepercayaan LDII sepenuhnya. “(Tapi) jangan ada anggapan LDII di-MUI-kan atau MUI yang di-LDII-kan,” ujar Zainudin saat memberikan sambutan di acara yang diselengarakan oleh MUI DKI Jakarta ini.
Ketua Umum DPP LDII, Prof Abdullah Syam mengatakan acara pembekalan ini bukan bentuk pembinaan MUI kepada LDII. Karena Abdullah mengaku LDII tidak pernah menganut ajaran sesat Islam Jamaah yang mengkafirkan dan menajiskan umat Islam di luar LDII. Kata Abdullah, ini adalah sinergi kemitraan antara LDII dengan MUI, bukan inisiatif LDII semata.
Abdullah mengakui LDII memang punya hubungan dengan pendiri Islam Jamaah, H Nurhasan Ubadillah. Tapi, ia menegaskan LDII hanya mewarisi fasilitas atau asetnya (pesantren) saja. “Pengikut bukan, penerus juga bukan. Bahkan kita sebagai pembina,” ujar Abdullah kepada Suara Hidayatullah.
Menurut Abdullah, sejak didirikan dengan nama Yayasan Karyawan Islam (Yakari) pada 1972 dan saat berganti nama menjadi Lembaga Karyawan Islam (Lemkari) pada 1981, para pendahulu LDII tidak pernah mengatakan H Nurhasan sebagai amir atau imam. Katanya, LDII kini sudah memiliki paradigma baru dan juga sudah membuat klarifikasi tentang berbagai tuduhan tersebut.
Paradigma baru itu, kata Abdullah, bukan berarti dulu LDII menganut Islam Jamaah, sekarang tidak. “Paradigma ini dalam konteks tataran organisasi. Antara lain program-progaram LDII dikemas dalam suatu rencana strategis, punya visi dan misi, cara pandang baru,” kata Abdullah yang juga pejabat di Badan Penelitiaan dan Pengembangan Departemen Kehutanan ini.
Hati-hati
Ketua Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI) yang juga anggota Komisi Pengkajian MUI Pusat, Amin Djamaluddin mengatakan masalah LDII belum selesai. MUI belum mengklarifikasi dan belum menyatakan LDII bebas dari penyimpangan sehingga bisa disetarakan dengan ormas-ormas Islam lain di Indonesia. “Harus hati-hati (terhadap LDII),” kata Amin kepada Suara Hidayatullah.
Amin menunjukkan sejumlah bukti, bahwa LDII sama sekali belum mengubah keyakinannya. Sejumlah bukti tulisan LDII yang dikeluarkan pasca Rakernas LDII Maret 2007 lalu menunjukan demikian. Dalam acara kepemudaan LDII, Cinta Alam Indonesia (CAI), LDII menerbitkan makalah yang masih mengajarkan tentang jamaah dan manqul. Pada bagian akhir makalah tertulis: untuk peramutan Jama’ah dalam pelestarian Jamaah ila yaumil qiyamah, maka melestarikan ilmu al-Quran dan al-Hadits secara manqul-musnad-muttashil mukhlis jamaah, adalah suatu kewajiban dan menjadi satu-satunya tanggung jawab jamaah.
Bukti lain yang ditunjukan Amin, tulisan LDII yang berjudul Nasihat-Ijtihad dari Imam keluaran Mei 2007 yang masih mengandung ajaran mengkafirkan orang Islam non-LDII. Di situ ditulis, “Nasihat imam kepada jamaah, para jamaah supaya betul-betul memiliki faham jamaah yang kuat, keimanan yang kuat sehingga tidak mudah terpengaruh walaupun banyak cobaan, cibiran, fitnahan, bujukan, dan pancingan yang tujuannya supaya jamaah bisa terpengaruh dan akhirnya keluar dari jamaah, murtad dari agama Allah. Itu berarti hilang surganya, mati sewaktu-waktu wajib masuk neraka.”
Menurut Amin, dari kutipan tadi difahami, orang yang keluar dari jamaah mereka adalah kafir dan masuk neraka. “Berarti mereka masih mengkafirkan orang di luar jamaahnya,” kata Amin.
Amin meminta umat Islam berhati hati. Sebab, kata Amin, LDII memiliki doktrin bithonah (bohong). “Jadi, mereka lain di mulut lain di hati, dan bithonah itu bagi mereka wajib,” ujar Amin.
*Surya Fachrizal, Dwi Budiman/Suara Hidayatullah PEBRUARI 2009

Sabtu, 31 Juli 2010

MEMBURU SERTIFIKAT HALAL


Bukan hanya produsen pangan yang butuh sertifikat jaminan halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Organisai massa Islam juga demikian. Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), salah satunya.
Jika produsen pangan butuh sertifikat halal sebagai daya tarik produk mereka, maka LDII pun tak jauh berbeda.
Target LDII saat ini bukan menambah jumlah jamaah, namun sekadar pernyataan klarifikasi dari MUI bahwa mereka bukanlah kelanjutan dari Islam Jamaah yang sebelumnya sudah dilarang oleh pemerintah.
Jika klarifikasi itu mereka peroleh, maka itu berarti mereka akan setara dengan ormas-ormas Islam di Indonesia seperti NU, Hidayatulah, atau Muhammadiyah. Barulah mereka bisa fokus untuk berekspansi diri.
Sejauh ini, MUI belum memberi lampu hijau. Karena itu, LDII terus bergerilya ”merayu” MUI. Laporan Utama Suara Hidayatullah kali ini menghadirkan sejumlah cuplikan usaha LDII ”merayu” MUI. Penuh intrik dan lobi. *Surya Fachrizal/Suara Hidayatullah JULI 2009

Rapat Khusus di Hari Sabtu

MUI tak mau merekomendasikan izin penyelenggaraan Rapimnas LDII, namun juga ”sungkan” menyebut LDII sebagai ormas terlarang.
Pagi menjelang siang di hari Sabtu, 6 Juni 2009. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Ma’ruf Amin, berjalan agak lunglai. Ia baru keluar dari ruang Dewan Syariah Nasional di lantai tiga gedung MUI Pusat, Jakarta.
Suara Hidayatullah sempat mengucap salam yang dibalas dengan suara lirih olehnya. Dua orang pria mengawalnya berjalan menyusuri koridor, menemaninya menunggu lift yang akan mengangkut mereka ke lantai empat, tempat rapat komisi fatwa MUI berlangsung.
Boleh dibilang rapat hari itu adalah rapat khusus. Karena lazimnya, rapat komisi fatwa MUI berlangsung pada hari Selasa setiap pekannya.
Bahkan, rapat ini cenderung dirahasiakan. “Enggak. Enggak ada rapat,” ujar seorang staf sekretariat MUI terbata-bata menjawab pertanyaan Suara Hidayatullah.
Padahal, ketika Suara Hidayatullah melihat ke lantai empat, rapat tertutup memang sedang berlangsung di sana.
Saat istirahat makan siang dan shalat zhuhur, Suara Hidayatullah sempat menanyakan perihal materi rapat kepada Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Aminuddin Yakub.
Kata Aminuddin, rapat hanya membahas seputar status halal-haram vaksin meningitis. Tapi, menurut sumber Suara Hidayatullah, ada materi lain yang ikut dibahas dalam rapat itu. Yakni, rekomendasi rencana acara Rapat Pimpinan Nasional Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII).
Ketika hal ini ditanya kepada Aminuddin, ia tak menyangkalnya. “Itu yang akan kita bahas setelah istirahat nanti,” jelasnya.
Rekomendasi
Cerita ini bermula dari surat Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) kepada MUI yang meminta rekomendasi untuk acara Rapimnas LDII yang berlangsung 10-11 Juni lalu, di Balai Kartini, Jakarta.
Menurut Aminuddin, MUI mengapresiasi sikap Mabes Polri yang meminta masukan dari MUI sebelum memberi izin. Tapi, soal rekomendasi, itu bukan otoritas MUI.
“Jadi keputusan rapat tidak memberikan rekomendasi. Karena MUI bukan pihak yang berhak memberikan rekomendasi,” ujar Aminuddin.
Namun, acara itu tetap berjalan. Bahkan, dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Di tempat terpisah, Ketua MUI, KH Cholil Ridwan, mengaku tidak mengetahui perihal rapat hari Sabtu itu. Bahkan, menurutnya, jika MUI memberi rekomendasi terhadap LDII, itu berbahaya. Sebab, LDII sedang bermasalah dengan MUI. Apalagi LDII tidak pernah terdaftar sebagai ormas Islam yang diakui oleh MUI.
“Dengan (rekomendasi) itu mereka akan eksis di masyarakat dan dianggap setara dengan ormas Islam (lain) seperti NU dan Muhammadiyah,” kata Cholil.
Hapus Citra Islam Jamaah
Ditilik dari sejarahnya, LDII merupakan jelmaan dari Islam Jamaah atau Darul Hadits yang resmi dilarang oleh Kejaksaan Agung lewat SK Jaksa Agung RI No. Kep-089/D.A/10/1971. Namun kini mereka mengklain diri telah berubah. Untuk memperkuat klaim itu mereka kerap menyebut istilah ”paradigma baru” LDII.
Islam Jamaah dilarang dan dibubarkan oleh pemerintah karena ajaran-ajarannya menyimpang. Penyimpangan yang paling mendasar adalah menganggap kafir orang Islam yang berada di luar jamaahnya.
Ketua MUI, KH. Ma’ruf Amin, mengakui keterikatan antara LDII dan Islam Jamaah. Menurutnya, fatwa terhadap LDII terkait dengan Islam Jama’ah.
“Adapun fatwa MUI khusus tentang LDII tidak ada,” ujarnya saat menghadiri Rakernas LDII sebelumnya, tahun 2007 lalu.
Namun, dia juga mengakui ada satu keputusan Musyawarah Nasional MUI pada tahun 2005 yang menyinggung LDII. Bunyi pernyataan itu, MUI mendesak Pemerintah untuk bertindak tegas terhadap munculnya berbagai ajaran sesat yang menyimpang dari ajaran Islam, dan membubarkannya, karena sangat meresahkan masyarakat, seperti Ahmadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), dan sebagainya.
Menurut Aminuddin, klarifikasi pengakuan MUI terhadap LDII saat ini memang sedang berjalan. LDII, katanya, sudah berusaha merealisasikan sikap mereka dengan membuat delapan poin klarifikasi sebagai hasil Rakernas LDII tahun 2007 lalu.
Poin pertama, LDII sebagai organisasi kemasyarakatan telah memiliki paradigma baru. Kedua, LDII bukan penerus/kelanjutan dari gerakan Islam Jama’ah serta tidak menggunakan atau mengajarkan Islam Jama’ah. Ketiga, LDII tidak menggunakan ataupun menganut sistem keamiran.
Keempat, LDII tidak menganggap umat Muslim di luar LDII sebagai kafir atau najis. Kelima, Masjid LDII terbuka untuk umum. Keenam, LDII dalam pengayaan ilmu tidak hanya dari alumni pondok LDII.
Ketujuh, LDII tidak pernah mengajarkan kepada warganya untuk menolak diimami oleh orang di luar warga LDII.
Kedelapan, LDII bersedia, bersama dengan ormas-ormas Islam lainnya mengikuti landasan berfikir keagamaan sebagaimana yang ditetapkan MUI.
Bergerilya di Daerah
LDII menempatkan hubungan dan komunikasi dengan MUI sebagai agenda utama program eksternal mereka (lihat boks Agenda Program Eksternal LDII). Program ini bukan hanya ditujukan kepada MUI pusat tapi juga daerah.
Wajar saja. Sebab, selama proses klarifikasi, MUI menggunakan pendekatan dari bawah (bottom-up). Klarifikasi diberikan berdasarkan kajian dan kesimpulan yang dilakukan oleh MUI propinsi dan MUI kabupaten/kota.
Jika MUI daerah menyatakan tak ada masalah, maka MUI Pusat akan mengumumkan hal tersebut secara nasional.
Di Jakarta, LDII sudah berhasil menggandeng MUI untuk ikut mengisi acara pembekalan kader dai dan daiyah LDII di Pondok Pesantren Minhajurrasyidin, Lubang Buaya, Jakarta. Kegiatan ini berlangsung tanggal 16 hingga 21 Januari lalu.
Namun, di beberapa daerah, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Barat, usaha LDII agak tersendat.
Staf Hubungan Masyarakat MUI Jawa Timur, Nizom Hidayatullah mengatakan, sikap MUI kabupaten/kota di Jawa Timur terhadap LDII berbeda-beda. Ada yang pro, ada yang kontra.
Meski demikian, kata Nizom, MUI Jawa Timur tetap menerima LDII sebagai tamu saat berkunjung ke kantor mereka.
Di sejumlah daerah, kata Nizom, LDII kerap membuat aksi sepihak. Mereka mengklaim telah diakui dan disahkan oleh MUI. Caranya sederhana saja. Mereka memasang baliho ucapan selamat lebaran, atau spanduk di jalan-jalan, dengan mencantumkan logo MUI.
”Ini membuat masyarakat awam salah paham. Seolah-olah LDII sudah halal menurut MUI,” tukas Nizom.
Menyempil di acara ijtima
Meski belum diklarifikasi dan diakui oleh MUI, ternyata LDII ikut diundang dalam acara Ijtima Nasional Komisi Fatwa MUI di Padang Panjang, Sumatera Barat, akhir Januari 2009 lalu.
Amin Jamaluddin, anggota Komisi Fatwa MUI yang juga ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, sempat memprotes keras hal ini. ”Saya protes keras. Sejak kapan urusan LDII dengan MUI selesai,” katanya.
Senada dengan Amin, Cholil Ridwan juga mempertanyakan ihwal diundangnya LDII pada acara resmi MUI tersebut. Menurut Cholil, seharusnya peserta berasal dari utusan bidang fatwa ormas-ormas Islam tingkat nasional, seperti Muhammadiyah, NU, dan lainnya.
Lalu, apakah LDII berhak hadir? ”Enggak dong! Kan dia bermasalah. Dia tidak termasuk ormas yang diakui MUI dan tidak pernah terdaftar,” ujar Cholil menimpali.
Jika merujuk buku Ijma’ Ulama, Kumpulan Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia 2009 terbitan MUI, hanya ada dua nama dari LDII yang tertera dalam daftar hadir. Pertama, Ketua Umum DPP LDII, Abdullah Syam. Kedua, Ketua DPP LDII, Prasetyo Sunaryo.
Namun, situs resmi LDII, http://www.ldii.or.id menyebut ada lima nama orang LDII yang diundang resmi oleh MUI. Selain Abdullah Syam dan Prasetyo Sunaryo (yang masuk dalam Komisi Masail Asasiyyah Wathaniyyah), juga Aceng Karimullah (Biro Dakwah DPP LDII, masuk dalam Komisi Masail Qanuniyyah), Drs H Zulfikri (Ketua DPD LDII Provinsi Sumatera Barat, masuk dalam Komisi Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah), dan Ir H Teddy Suratmadji (Ketua DPP LDII, masuk dalam Komisi Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah).
Suara Hidayatullah sempat menanyakan masalah ini kepada Sekretaris Umum MUI, Ichwan Sam. Jawabnya, masalah undangan bukan urusan MUI Pusat, tetapi urusan panitia lokal. Yakni, MUI Sumatera Barat.
Namun, pernyataan Ichwan disanggah Ketua Harian MUI Sumatera Barat, Buya Gusrizal Gazahar, Lc MA. ”Tidak benar itu,” ujarnya kepada Suara Hidayatullah.
Menurut Gusrizal, sejak menjabat ketua harian MUI Sumatera Barat, dirinya memang ditunjuk sebagai ketua panitia daerah. Namun ia tak pernah melayangkan undangan kepada LDII.
”Tidak sepucuk undangan pun pernah saya tandatangani untuk LDII,” katanya.
Bukan hanya peserta resmi, LDII bahkan menerjunkan sejumlah mobil untuk antar jemput peserta ijtima. Hal ini dikemukakan oleh Ketua MUI, Cholil Ridwan. Cholil mengetahui hal ini ketika sedang menunggu mobil jemputan di hotel menuju acara Ijtima di Pondok Pesantren Diniyah Puteri.
Saat itu Cholil ditawari mobil sejenis Toyota Kijang baru berplat nomor Jakarta oleh Hasyim Nasution, ajudan Ma’ruf Amin, yang juga pengurus LDII.
Cholil sempat mengorek informasi dari sang supir yang mengaku juga dari Jakarta dan tidak menguasai jalan setempat itu. Kata Cholil, sang supir bercerita bahwa Hasyim telah memasok lima mobil lengkap dengan supirnya dari Jakarta.
Sayangnya, saat Suara Hidayatullah mengonfirmasi masalah ini ke Hasyim, ia menolak berkomentar lebih jauh
Sebagai tambahan, situs berita LDII menulis, DPD LDII Propinsi Sumatera Barat telah menerjunkan tiga mobil beserta supir, full-time melayani beberapa pimpinan MUI Pusat dan tamu-tamu lainnya.
Di situs itu bahkan ditulis, pengurus Pusat MUI sempat menikmati ketan-durian di Wisma Tamu LDII, Padang Panjang.
Lagi-lagi, Gusrizal menampik tudingan adanya bantuan mobil dari LDII selama rapat Ijtima. ”Tidak ada bantuan LDII. Kalau sebagian pengurus MUI Pusat menerima pelayanan istimewa dari LDII saat (berada) di Padang Panjang, itu amat naïf. Amat disesalkan,” ujar nya. *Dodi Nurja, Kukuh Santoso, Ngadiman, Dwi Budiman, Surya Fachrizal/Suara Hidayatullah
Boks 1
Agenda Program Eksternal LDII
No Kegiatan Bentuk Kegiatan Waktu Sasaran Biaya
1 Hubungan Koordinasi dan Komunikasi dengan MUI Silaturahim dan ajangsana Terus menerus (2007-2009) 1. Silaturahim kepada MUI pada berbagai level organisasi MUI, LDII membuka diri untuk mengangkat citra LDII. Bahwa LDII terus berjuang untuk membangun ukhuwah Islamiyah dengan menegakkan pelaksanaan al-Qur`an dan Hadits seperti halnya rmas Islam lainnya …
Rp. 5 juta s/d Rp.10 juta per tahun. Mubaligh pusat dan DPP (dengan peserta mubaligh/muba-lighat prop.)
Mulai bulan Juli 2007- hasil yang signifikan. (Peningkatan aktivitas menjelang Munas MUI) 2. Kerjasama dengan MUI dalam menghadapi penyamaan persepsi ormas Islam lainnya terhadap LDII dalam hal HAM dalam melaksanakan kefahaman atau keyakinan beragama Rp. 10 juta pertahun
Setiap tahun 3. Besama MUI menggalang massa dalam meningkatkan aktivitas dan manfaat peringatan hari-hari besar Islam Rp. 25 juta/per seluruh even perayaan hari besar Islam per tahun
Sumber: Himpunan Hasil Rakernas LDII tahun 2007, hal. 55-56
Boks 2
Surat Keputusan Jaksa Agung
Surat Keputusan Jaksa Agung RI No: Kep-089/D.A./10/1971 tentang: Pelarangan terhadap Aliran-aliran Darul Hadits, Djama’ah jang bersifat/ beradjaran serupa.
Menetapkan:
Pertama: Melarang aliran Darul Hadits, Djama’ah Qur’an Hadits, Islam Djama’ah, Jajasan Pendidikan Islam Djama’ah (JPID), Jajasan Pondok Pesantren Nasional (JAPPENAS), dan aliran-aliran lainnya yang mempunyai sifat dan mempunjai adjaran jang serupa itu di seluruh wilajah Indonesia.
Kedua: Melarang semua adjaran aliran-aliran tersebut pada bab pertama dalam keputusan ini jang bertentangan dengan/menodai adjaran-adjaran Agama.
Ketiga: Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan:
Djakarta pada tanggal: 29 Oktober 1971,
Djaksa Agung R.I.
tjap.
Ttd (Soegih Arto).
Box 3
Surat Keputusan Munas MUI 2005
MUI mendesak Pemerintah untuk bertindak tegas terhadap munculnya berbagai ajaran sesat yang menyimpang dari ajaran Islam, dan membubarkannya, karena sangat meresahkan masyarakat, seperti Ahmadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), dan sebagainya.
MUI supaya melakukan kajian secara kritis terhadap faham Islam Liberal dan sejenisnya, yang berdampak terhadap pendangkalan aqidah, dan segera menetapkan fatwa tentang keberadaan faham tersebut.
Kepengurusan MUI hendaknya bersih dari unsur aliran sesat dan faham yang dapat mendangkalkan aqidah. Mendesak kepada pemerintah untuk mengaktifkan Bakor PAKEM dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya baik di tingkat pusat maupun daerah.
Sumber: Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia, Tahun 2005, halaman 90, Rekomendasi MUI poin 7, Ajaran Sesat dan Pendangkalan Aqidah) SUARA HDAYATULLAH JULI 2009
”MUI Telah Dibohongi!”
Utang Ranuwijaya, Ketua Komisi Pengkajian dan Pengembangan Majelis Ulama Indonesia, tak bisa menyembunyikan keheranannya. Kesaksian Asep (nama samaran), Ketua Pengurus Cabang LDII salah satu daerah di Jawa Barat, dalam audiensi di hadapan sejumlah ketua MUI awal April lalu, benar-benar bertentangan dengan hasil penelitiannya.
Audiensi itu dihadiri, antara lain, oleh Ketua MUI, KH Cholil Ridwan, sebagai pimpinan forum, Ketua MUI, Prof Huzaimah T. Yanggo, dan Sekretaris MUI, Anwar Abbas.
Sampai saat itu, Asep masih aktif sebagai pengurus LDII. Di hadapan sejumlah petinggi MUI tersebut, Asep mengaku capek berbohong terus dalam beragama. Itu sebabnya dia membulatkan tekad menyambangi MUI untuk membeberkan kebohongan-kebohongan LDII selama ini.
Asep juga mengakui bahwa LDII memang kelanjutan dari Islam Jamaah.
Selain kesaksian, Asep yang didampingi peneliti aliran sesat Hartono Ahmad Jaiz, juga membawa dokumen-dokumen internal LDII/Islam Jamaah yang selama ini selalu disembunyikan dari publik.
Kata Asep, selain MUI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama (Puslitbang Depag) juga sedang intens melakukan investigasi terhadap LDII. Asep menunjukkan sejumlah pesan pendek (SMS/short message service) berantai dari DPP LDII yang beredar di kalangan pengurus LDII sekitar bulan Maret 2009 lalu.
Rangkaian pesan pendek tersebut berisi peringatan tentang akan adanya kunjungan dadakan Puslitbang Depag hingga ke pelosok-pelosok. Menurut pesan tersebut, Puslitbang terlihat tidak puas dengan jawaban-jawaban LDII.
Untuk itu, para jamaah diminta membersihkan barang-barang yang dirahasiakan dari tempat-tempat kegiatan LDII. Barang-barang tersebut, kata Asep, seperti instruksi infak persenan, masalah keimaman, masalah manqul, dan masalah bai’at.
Rangkaian pesan yang kedua berisi sejumlah langkah taktis untuk menjawab pertanyaan dari Litbang Depag atau orang luar LDII yang datang sewaktu-waktu. Isinya adalah, ”Jika ditanya masalah jamaah dalam LDII, (jawabnya) adalah kumpulan pengajian. Jika disinggung masalah imam, jelaskan dengan tenang. Di LDII, ya imam shalat. Jika ditanya (soal) amir, jawab dengan tenang, amir adalah pemerintah atau presiden. Jika disinggung masalah infak, jelaskan dengan tenang, infak adalah sedekah Jumatan dan sedekah pengajian. Jika ditanya sumber dana LDII, jawab dengan tenang, sumber dana LDII dari warga LDII berupa sedekah jariyah dan donatur yang sifatnya tidak terikat, juga dari bantuan Pemda. Jika ditanya masalah manqul, jawab dengan tenang, bahwa di LDII tidak mengenal manqul. Di LDII pakai metode belajar Iqra, dan memaknakan kata demi kata supaya mudah dimengerti dan dipahami.
”Bapak-bapak di MUI selama ini telah dibohongi,” kata Asep.
Sebelumnya, Utang Ranuwijaya, Ketua Komisi Pengkajian dan Pengembangan MUI, telah melakukan penelitian atas LDII dan membuat laporannya dalam sebuah buku berjudul After New Paradigm : Catatan Para Ulama Tentang Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), terbitan Madani Institute, tahun 2008. Buku itulah
Dalam buku kumpulan wawancara sejumlah tokoh itu Utang mengatakan: ”konsep paradigma baru LDII sudah bagus kalau dilihat dari paparan yang mereka sampaikan. Hal itu saya kemukakan berdasarkan pemantauan saya di beberapa tempat seperti Jakarta, Surabaya, Lampung, dan Kediri. Sebenarnya dengan paradigma baru tersebut, mereka ingin meninggalkan paham-paham yang dulu diwariskan oleh Islam Jamaah.”
Dari buku inilah Asep menyimpulkan bahwa MUI telah dibohongi.
Sumpah yang diucapkan Ketua Umum DPP LDII, Abdullah Syam, di hadapan MUI, perihal kesungguhan mereka akan berubah, menurut Asep, hanya di mulut saja. Setelah itu, dengan bangga Abdullah menyampaikan kepada jamaah LDII bahwa dia telah berhasil mengelabui ulama-ulama MUI.
Pernyataan Asep dikuatkan oleh Agus Sumarno, mantan jamaah LDII yang menyatakan keluar akhir tahun 2008. Kata Agus, bagi LDII, bersumpah palsu terhadap orang-orang kafir di luar jamaah LDII diperbolehkan. Ini pernah dilakukan pengurus LDII di hadapan MUI Pusat.
”Meskipun sudah bersumpah, (bahwa) tidak ada lagi bai’at dan mengkafir-kafirkan orang lain di depan MUI, tapi sumpah itu boleh dilanggar karena MUI bukan orang LDII,”ujar Agus.
Agus sendiri mengaku siap dihadapkan dengan para petinggi LDII untuk mempertanggungjawabkan pernyataannya.
Selain pengakuan mantan jamaah LDII, Suara Hidayatullah juga memperoleh bukti sebuah rekaman ceramah Wakil Ketua Dewan Penasihat DPP LDII, Kasmudi Asshidqy. Rekaman tersebut diambil pada acara pengajian Qira’at Assab’ah di Wisma Wali Barokah, Ponpes Burengan, Kediri, Jawa Timur, sekitar delapan bulan lalu.
Dalam rekaman tersebut, Kasmudi menyebut para imam LDII sebagai perantara hidayah setelah Nabi Muhammad Shalallahu ’alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. ”… dan begitu juga (ucapan syukur) kepada Bapak Imam, Haji Nurhasan Ubaidah almarhum, Bapak Imam Syaikh Abdul Dhohir almarhum, dan Bapak Abdul Aziz, Haji Sultan Auliya sebagai penerusnya …, ” ucap Kasmudi saat membuka acara.
Dalam rekaman berdurasi 45 menit itu terlihat Kasmudi mengajak para jamaah agar senantiasa mengamalkan al-Qur`an dan al-Hadits dengan cara berjamaah. ”Kenapa (harus berjamaah)? Tidak (ber)jamaah pasti (masuk) neraka, (ber)jamaah pasti (masuk) surga. Itu masalahnya,” kata Kasmudi.
Tak lupa, Kasmudi mengajak anggota jamaah untuk mensyukuri keberhasilan organisasi yang telah dirintis oleh Nurhasan Ubaidah sejak 1941 ini. Lima program ibadah jamaah bErjalan lancar. Lima program tersebut yaitu ngaji, ngamal, membela, jamaah, dan taat karena Allah.
”Kita tetapkan, kita niatkan full, poll, berdoa dalam hati kita masing-masing dengan jaminan mati sewaktu-waktu masuk surga dan selamat dari neraka. Sebalikanya, kalau kita tidak menetapi jamaah, pasti masuk neraka.”
Suara Hidayatullah sudah mencoba beberapa kali menghubungi Ketua Umum DPP LDII, Abdullah Syam, untuk meminta konfirmasi. Sayang, telepon genggamnya selalu tidak aktif.
Satu-satunya konfirmasi berasal dari Departemen Ekonomi DPP LDII, Hasyim Nasution, yang sebelumnya menolak mengomentari soal pelayanan LDDI kepada MUI saat Ijtima Nasional Komisi Fatwa MUI di Padang Panjang, Sumatera Barat, akhir Januari 2009 lalu.
Hasyim mengatakan, orang-orang yang berkomentar negatif atas LDII cuma oknum. ”Kita banyak dirusak oleh orang-orang yang mengaku-ngaku seperti itu. (Mereka) tidak bertanggung jawab,” kata Hasyim.
LDII punya tindakan terhadap warga atau pengurus yang bersikap seperti itu. ”Kalau dia pengurus, kita keluarkan. Kalau memang sudah keluar dari LDII, ya lebih bagus”.
Hasyim juga menegaskan bahwa LDII tetap konsisten dengan paradigma barunya. ”Kami enggak mau plin-plan. Kami ormas besar. Banyak yang cemburu dengan perkembangan kami. Banyak yang mengaku LDII, tapi ingin merusak LDII,” jelasnya lagi. *Surya Fachrizal/Suara Hidayatullah

Amin Djamaluddin (Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam MUI Pusat)
”LDII Belum Berubah”

Bagaimana pendapat Anda mengenai paradigma baru LDII?
Di daerah-daerah nggak ada yang berubah kok. Yang datang kepada saya banyak. (Mereka) cerita bahwa LDII masih belum berubah. Saya ke mana-mana selalu bertanya sama orang. Keliling Indonesia. Mereka terbukti belum berubah.
Apa contohnya?
Ada orang dari Malang, namanya Agus (Sumarno). Dia keluar dari LDII, anak istrinya diculik. Malah istrinya minta cerai kalau Agus tetap tidak mau tobat dan kembali ke LDII.
Awal tahun 2009 saya ke (Kota) Pangkalpinang, Bangka Belitung. Di sana ada seorang pemilik warung makan Padang bercerita, ketika adiknya yang LDII meninggal, dia dan keluarga tidak bisa mengurus jenazahnya. Mereka dihalang-halangi orang LDII.
Lalu, MUI Cirebon (Jawa Barat), ketika berkunjung ke MUI Pusat bulan Mei lalu juga bilang, di kampung mereka LDII masih sama. Enggak mau shalat di belakang orang luar jamaah, masih tetap mengkafirkan orang di luar jamaahnya. Jadi apanya yang berubah?
Jadi mereka tetap sesat?
Ya jelas. Orang Islam lain mereka kafirkan, bagaimana nggak sesat? Di Tanjung Pinang, orang yang membacakan buku saya mengenai kesesatan LDII dituntut ke pengadilan oleh mereka.
Jadi LPPI masih tetap menyatakan mereka sesat?
Iya, enggak berubah. Saya bilang begini karena saya sering ke daerah meneliti mereka. Saya tidak diongkosin sama LDII. Beberapa hari lalu saya ditelepon orang dari Makassar. Dia bertanya, apa benar LDII sudah klarifikasi ke LPPI?
Saya jawab, kalau mereka datang ke kantor LPPI memang sering. Tapi kalau klarifikasi nggak pernah.
Saya tetap meminta mereka (LDII) menjawab buku saya tentang LDII. Dari dulu nggak ada yang jawab. Berarti nggak ada klarifikasi.
Bagaimana dengan MUI?
Masih tetap juga. Masih menunggu pembuktian paradigma barunya LDII.
Apakah Anda pernah berceramah di depan jamaah LDII?
Saya kalau mau ceramah di depan semua masjid LDII di Nusa Tenggara Barat (NTB), mereka ongkosin. Tapi, saya enggak mau.
MUI Propinsi Riau itu cerita, orang LDII datang ke kantor MUI hari Jumat. Ketika shalat Jumat mereka nggak ikut. Ditipu kita, kata MUI Riau.
Bagaimana dengan DPP LDII?
Di DPP LDII ada perubahan. Mereka sudah mau adaptasi. Misalnya, mau diimami oleh orang di luar mereka. Tapi, ya, nggak tahu itu perubahan benar atau hanya kamuflase. Paradigma baru mereka itu kan dari tahun 2002. Sudah puluhan ribu buku dicetak dan dibagikan gratis kepada umat. Tapi, sampai sekarang nggak ada perubahan sama sekali.
Kalau mengikuti paradigma baru itu, harusnya mereka sudah berubah.
Sebetulnya gampang saja kalau mereka mau berubah. Buang ajaran bithonah (ajaran yang membolehkan orang LDII berbohong di hadapan orang selain LDII). Tapi sampai sekarang ajaran itu masih dipakai di buku-buku mereka.
Kabarnya MUI sedang meneliti paradigma baru LDII ini?
Persisnya saya tidak tahu. Saya tahu malah dari orang LDII sendiri, ketika saya mengisi acara di Persis Bandung (Jawa Barat). Kata mereka penelitian itu dibayari LDII. Makanya waktu penelitian yang ke sembilan di NTB saya diajak (oleh MUI). Saya nggak mau karena masih di-ongkosin (dibiayai) LDII.
Saya bilang, lebih baik saya jalan kaki dari Jakarta ke Mataram daripada di-ongkosin LDII. Akhirnya saya nggak ikut.
Bagaimana mau meneliti? Orang yang mau kita teliti (malah) mengongkosi penelitian itu. Lagi pula mereka bisa bohong. Bisa saja ketika kita teliti, mereka menunjukkan buku-buku ahlus sunnah di perpustakaan mereka. Setelah kita pulang, mereka buang semua buku itu.
Mengapa pimpinan LDII bisa ikut Ijtima Nasional Komisi Fatwa MUI di Padang, Sumatera Barat, tempo hari?
Itu saya persoalkan. Karena nama mereka (LDII) tercantum di buku hasil Ijtima sebagai peserta. Saya tanyakan ke Pak Anwar Abbas, dia juga tidak tahu. Saya kemudian diajak ke Pak Isa Anshari, sekretaris MUI. Kata Pak Isa, Pak Ichwan Sam yang mengajak.
Kemudian Pak Ichwan bilang, LDII diundang MUI pusat untuk pembukaan saja. Tapi, saya bilang, LDII tertulis sebagai peserta. Setelah itu saya terlibat perbincangan panjang mengenai LDII dengan Pak Ichwan.
Apakah Anda sering didekati orang LDII?
Kalau mereka datang ke LPPI sering. Tapi, kalau sampai diberi hadiah, saya nggak pernah. Paling mereka sering mengajak makan ke luar, tapi saya tolak.

*Dwi Budiman/Suara Hidayatullah JULI